Saya Gagal Membangun Startup, dan Itu Bukan Masalah
Kegagalan.
Saya sendiri merasa biasa-biasa saja. Tapi kata tersebut pernah menjadi momok yang membuat saya merasa takut, membuat dada sesak, perut menjadi mual, lelah, gusar, dan kadang-kadang iri terhadap orang lain yang meraih keberhasilan.
Untungnya, sekarang saya sudah tidak seperti itu lagi. Bagi saya, kata “gagal” sekarang hanya sebuah deskripsi untuk suatu hal yang tidak berjalan sesuai keinginan. Saya paham kalau kamu pernah menggunakan kata ini sebelumnya, tapi lain kali, jangan katakan, “Saya gagal.” Tapi katakan, “Saya belum berhasil,” atau, “Saya sedang menghadapi tantangan.”
Saya tidak akan menulis tentang hal yang berat-berat. Saat artikel ini ditulis, saya sedang berada di Italia yang cerah. Hari masih pagi, dan saya masih mengenakan piyama pink kotak-kotak serta hoodie yang nyaman. Bukan suasana yang pas untuk hal-hal berat.
Saya hanya ingin berbagi sedikit pengalaman saya selama beberapa tahun terakhir, sebab beberapa tahun lagi saya pasti sudah lupa bagaimana rasanya berada di awal-awal pendirian sebuah bisnis. Mungkin pandangan saya tentang kegagalan saat ini bisa membantu para pemilik bisnis yang baru saja meninggalkan pekerjaan kantor mereka.
Kebebasan yang tak disangka-sangka
Kisah saya tidak jauh beda dengan banyak kisah founder lainnya. Saya tidak puas dengan kerja kantoran, jadi saya keluar untuk memulai usaha sendiri.
Ketika saya keluar, saya tidak punya pengalaman bisnis sama sekali, hanya punya sedikit kemampuan interpersonal, dan tidak punya kemampuan pengembangan diri. Kemampuan emosional saya juga sangat buruk, dan saya sama sekali tidak memiliki fokus.
Saat itu, saya merasa bisa mengubah dunia hanya dalam sekejap mata. Sekarang saya baru mulai mengerti bahwa satu-satunya hal yang perlu saya ubah adalah diri saya sendiri. Tapi saya sadar bahwa apa yang saya lakukan saat itu—meninggalkan penghasilan dan jenjang karier yang stabil demi ambisi pribadi—memang adalah sebuah perubahan besar.
Saya memiliki tabungan dan mendaftarkan diri sebagai relawan di sebuah pusat retret di Spanyol selama beberapa bulan. Di sanalah saya mendapatkan ide bisnis pertama saya—meski hanya nama dan konsep—yaitu City Calm.
Saya ingin membantu orang-orang kota yang stres dan terlalu banyak bekerja agar lebih santai, serta bisa tetap terhubung dengan diri sendiri ataupun orang lain.
Dari cerita saya sejauh ini, mungkin kamu bisa menilai bahwa sebenarnya saya tidak layak mengajari orang lain cara memperoleh ketenangan dan kedamaian. Saya sendiri baru kabur dari kota dan sedang bersembunyi di pusat retret yoga di Spanyol, sambil menenangkan diri dan menyusun rencana masa depan.
City Calm gagal. Setidaknya untuk saat ini.
Saat itu, saya merasa bisa mengubah dunia dalam sekejap mata. Sekarang saya baru mulai mengerti bahwa satu-satunya hal yang perlu saya ubah adalah diri saya sendiri.
Tapi usaha membangun “bisnis” ini membantu saya mengembangkan kemampuan, menemukan pencerahan, serta mendapatkan kejelasan visi. Mungkin semua itu tidak akan saya dapat bila saya tidak meninggalkan pekerjaan kantoran. Ini adalah sebuah kebebasan, tapi kebebasan yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang saya bayangkan sebelumnya.
Saya sudah banyak melihat kisah dengan pola serupa. Seseorang melepaskan pekerjaannya, kemudian mendapat ide untuk menolong orang lain di bidang yang sebenarnya ia butuhkan sendiri. Misalnya:
- Pelatih kesehatan yang memiliki masalah kesehatan
- Motivator yang merasa sulit termotivasi
- Guru meditasi mindfulness yang terus-menerus jatuh dalam pikiran negatif (contohnya saya)
Mendirikan dan menjalankan City Calm rasanya luar biasa. Saya mengajar kelas dasar-dasar mindfulness di taman, serta membuat acara-acara seru seperti “Kompetisi Istana Pasir”, “Menulis Jurnal Pribadi secara Mindful”, atau “Mewarna secara Mindful”.
Setting up and running City Calm was awesome. I taught basic mindfulness classes in the park and ran fun events like “A Sand Castle Competition,” “Mindful Journaling,” and “Mindful Coloring.”
Saya mengadakan retret mindfulness bersama seorang praktisi yoga serta ahli saraf berpengalaman yang menjadi teman saya sampai sekarang, yaitu Paresh Mhaispurkar.
Saya membagikan bunga di sebuah konferensi marketing ternama yang dihadiri para eksekutif, kemudian berbicara tentang energi dan kesatuan universal (saya masih suka senyum-senyum sendiri mengingatnya). Para eksekutif itu sangat berminat dan bersemangat untuk belajar tentang mindfulness, bahkan menerapkannya pada tim mereka. Rasanya sungguh bagai mimpi yang jadi nyata.
Semua ini menyenangkan, dan saya masih akan terus mengadakan acara serta retret di masa depan. Praktik mindfulness saya masih akan terus berkembang, dan suatu hari saya pasti akan mengajar lagi.
Tapi perusahaan saya gagal.
Berikut ini beberapa pelajaran penting yang saya dapatkan.
Perencanaan tidak mendatangkan uang
Kami hampir tidak menghasilkan uang sama sekali. Kami tidak punya model bisnis. Di tahun pertama, total pemasukan saya nol besar. Ketika mengisi formulir pajak, kantor pajak sampai mengira terjadi eror. Padahal tidak. Waktu itu saya berpikir, mungkin dengan menulis angka-angka di tabel saya bisa mendapat uang secara ajaib.
Bila kamu sudah mulai memperoleh penghasilan, rencana menjadi penting. Karena itu saat ini saya sedang berusaha mendalami ilmu perencanaan keuangan. Perencanaan proyek, sumber daya, dan sebagainya juga penting, tapi semua ini hanya akan muncul kalau kamu sudah punya penghasilan.
Proyeksi penghasilan adalah alat untuk membantumu mengambil keputusan bisnis. Bukan untuk menunjukkan kapan kamu akan menjadi seorang miliuner.
Nikmati proses perkembangan diri
Di tahun pertama, saya mengikuti banyak pelatihan yoga, meditasi, dan mindfulness. Saya ketagihan untuk belajar sebanyak mungkin tentang hal tersebut.
Di tahun kedua, saya mulai mengajarkan mindfulness. Saya bahkan membuka kursus online bersama Karen, seorang guru mindfulness dari London yang sangat ahli (bila kamu pergi ke London, mampirlah ke kelas atau acara buatannya. Dia orang yang menyenangkan!).
Kursus ini difilmkan dan diedit secara profesional oleh Leah, anak magang yang sempat bekerja untuk kami beberapa lama. Perlahan, kami mulai merasa berhasil. Kami menyontek tampilan situs milik saingan yang sudah jauh lebih sukses—rencana yang pasti tidak akan gagal. Kami punya tim beranggota orang-orang hebat yang percaya pada visi dan masa depan City Calm. Menurut tabel proyeksi, kami semua akan menjadi orang kaya!
Kursus kami lumayan bagus. Semuanya tersusun dengan baik, dan saya sangat berterima kasih pada semua pihak yang telah bekerja mewujudkannya. Tapi ternyata lumayan bagus saja tidak cukup.
Ternyata lumayan bagus saja tidak cukup.
Butuh waktu lama untuk sampai di level yang kami inginkan, tapi saya tidak menikmati proses membuat dan menjual kursus online tersebut. Ini salah satu alasan mengapa ide bisnis pertama kita kemungkinan akan gagal.
Untuk meraih kesuksesan jangka panjang seperti para entrepreneur teladan di internet—Kimra Luna, Kriss Carr, atau Marie Forleo—kita benar-benar harus mengerahkan seluruh kemampuan terbaik kita. Orang-orang seperti mereka bisa sukses karena sudah berjuang selama bertahun-tahun!
Untuk bisa bermain di level tertinggi, kita butuh kerja keras, dan harus menikmati pekerjaan kita. Kamu harus menikmati proses meningkatkan keahlianmu, apa pun bidangnya. Kalau tidak, kamu tidak akan bisa menghasilkan kualitas sesuai standar yang dibutuhkan agar bisnismu maju.
Kita harus menentukan dengan pasti apa kegiatan yang akan dan tidak akan kita lakukan, dan semua kegiatan tersebut harus membuatmu merasa senang.
Passion saja tidak cukup
Setelah mencoba mengajar mindfulness secara offline dan online, saya yakin seratus persen bahwa saya lebih suka mengajar secara offline. Saya benci proses membuat kursus dan memasarkannya. Saya tidak paham cara kerja grup Facebook, dan saya tidak menikmati proses mempelajarinya. Saya tidak suka menguji sales sequence dan sales funnel, juga sama sekali tidak tertarik mengadakan webinar atau video live stream di Facebook.
Semua kegiatan di atas membuat bidang yang saya kerjakan tidak lagi terasa menyenangkan. Tapi pelan-pelan saya mulai paham apa kegiatan yang saya nikmati dan yang tidak saya nikmati, terutama dengan cara membandingkan keduanya.
Kenalilah keduanya secara spesifik. Mungkin butuh waktu sampai kamu bisa benar-benar paham apa yang kamu suka, kecuali bila kamu memang punya kesadaran diri yang tinggi.
Membandingkan secara positif
Inilah alasan mengapa kegagalan itu bukan hal negatif. Kegagalan adalah hal yang netral. Kamu mencoba sesuatu, lalu tidak berhasil. Bila itu terjadi, tanyalah dirimu sendiri, mengapa tidak berhasil?
Berikut ini pelajaran yang saya dapat:
- Saya menggunakan perencanaan sebagai alasan bermalas-malasan. Untuk menghindarinya, lebih baik saya bekerja dengan sprint pendek dan jadwal harian.
- Setiap bisnis butuh model bisnis yang baik.*
- Setiap bisnis harus mendatangkan uang.*
- Saya tidak mau membuat atau menjual kursus (kecuali bila saya bekerja sama dengan pakar yang bisa menjalankan prosesnya).
- Saya harus menjual keahlian saya, bukan hal yang saya sekadar bisa.
- Saya suka mengadakan acara dan retret.
*Dua hal ini memang terkesan sudah sangat jelas, tapi kadang suatu hal baru bisa kamu pahami secara utuh lewat kegagalan.
Semua pelajaran dan informasi di atas sangat berguna, dan bisa saya manfaatkan di proyek atau bisnis lain ke depannya.
Saya harap tulisan ini bisa membantumu memahami bahwa gagal itu tidak apa-apa. Jangan lupa bagikan kisahmu di kolom komentar. Ceritakan kisah kegagalanmu dan apa yang kamu pelajari darinya, supaya kita bisa belajar bersama.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Isi di dalamnya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh Ayyub Mustofa sesuai dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia. Diedit oleh Septa Mellina)
Komentar
Posting Komentar